UNNAMED-10

-Richie PoV-

Aku barusaja menyelesaikan operasi apendektomi begitu hujan menghampiri waktu istirahatku. Aku suka menghabiskan waktu bersama rimbunnya hujan. Menikmati bau tanah yang mencium rintik hujan dan segelas kopi hitam menurutku adalah perpaduan sempurna. Teman-temanku sebagian pulang, sedangkan aku dan beberapa residen lain masih harus menjalani tugas jaga.

“Gue duluan,ya.” ujar Kevin, teman baikku. Aku hanya tersenyum singkat lalu melambai pelan ke arahnya.

Entah apa yang ada di pikiranku, hingga segera saja aku melenggang ke sebuah kafe tak jauh dari rumah sakit tempatku menjalani masa residen. Tak apalah, lagipula tugas jagaku masih sekitar dua jam lagi dimulai. Tak ada salahnya jika aku membiarkan otot dan otakku istirahat sejenak,sekedar memulihkan. Di depan halte, kulihat mobil Reggie terparkir. Tak jauh dari situ, Reggie bersama seorang wanita sedang berbicara. Aku tak bisa melihat wajahnya lebih jelas karena rambut pendek wanita itu menutupi wajahnya.

Apa aku perlu menghampiri mereka? Aku menggeleng. Tidak, sepertinya itu bukan urusanku. Mungkin nanti aku tanyakan saja pada Reggie secara langsung.

Begitu tiba di kafe. Aku melihata Freya sedang duduk menyendiri di sudut kiri kafe. Aku segera menyambar kursi di sebelahnya dan menghempaskan bokongku. Dia tampak terkejut, namun sejurus kemudian dia malah melemparkan senyum.

“Hai, kak!” sapanya. Dia memaksa tersenyum, padahal aku tahu dia sedang ada masalah. Matanya tampak kosong.

“Lo nggak lagi berantem sama Reggie, kan?”

Dia tampaknya terkejut dengan pertanyaanku. Namun, ia kemudian menjawab  dengan gelengan kepala.

“Lo nggak usah bohong sama gue,” lagi-lagi dia menunjukkan ekspresi terkejutnya kepadaku. Freya, perasaanmu terlalu mudah dibaca.

Swear, kak!” Ucapnya, berusaha meyakinkanku.

“Kalo lo nggak mau cerita gak apa-apa, dan gue harap lo mau cerita ke gue kalo Reggie nyakitin lo.”

Dia mengangguk sekali.

Dan, hujan hari ini, kunikmati bersama Freya, wanita yang mencintai adikku.

-Reggie POV-

Sorry, aku tadi pulang duluan.” Gue mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Sebelah tangan gue sibuk memasangkan earphone ke telinga, sedang sebelah lagi memegang kemudi. Sungguh, gue nggak benar-benar ingin melakukannya tadi―meninggalkannya begitu saja di saat gue tahu Raizel menguping pembicaraan kami. Gue tahu ini nggak logis, tapi entah apa yang ada di pikiran gue saat itu sehingga gue dengan ringannya melangkah pergi, berusaha mengejar langkah kecil Raizel.

Di seberang sana, Freya terdengar menghembuskan napas panjang.Gue nggak terlalu berharap dia akan memaafkan gue, tapi mengetahui kekecewaan hatinya membuat dada gue nyeri.

“Kamu boleh marah sama aku, tapi kamu mesti tahu bahwa yang ada disini, di hatiku, sepenuhnya cuma kamu, nggak ada yang lain,” Ucap gue tulus. Serius, gue bukan dalam edisi menggombal kali ini. Gue cuma pengen dia tahu perasaan gue sebenarnya. Sesederhana itu.

“Gue nggak perlu marah dan nggak ada yang perlu lo lurusin,” Begitu yang meluncur dari bibirnya. Gue tahu, dia terlalu lelah untuk marah-marah dan pernyataannya tadi semakin membuat gue yakin dia kecewa. Dia memutuskan hubungan telepon dan gue benar-benar yakin dia kecewa. Sungguh, gue nggak ngerti akan perubahan sikap Freya. Sebelum kami pacaran, setidaknya dia nggak pernah seperti ini, cemburu overdosis. Dia selalu bisa mengerti apapun kondisi gue dan dia selalu percaya kata-kata gue. Sekarang, dia sepertinya sulit menyimpan kepercayaan itu. Apa semua wanita begitu? Apa seluruh sel otak wanita dipenuhi cemburu, hingga dengan mudahnya merasakan itu? Gue benar-benar nggak ngerti.

Terdengar Adam Levine menggemakan lagunya di telinga gue, buru-buru gue angkat panggilan itu. “Lo bisa beliin gue keripik kentang di minimarket?”

Gue mengangguk. Sadar bahwa anggukan gue nggak bisa diliat olehnya, gue buru-buru mengiyakan. Gue lalu memarkir mobil gue di depan minimarket yang nggak jauh dari rumah sakit. Begitu melewati freezer es krim, gue langsung mencomot beberapa es krim kacang merah, berharap Freya menyukainya.

Seusai membayar belanjaan, gue langsung memutar arah ke rumah Freya. Gue mengetuk pintu rumahnya tiga kali dan meninggalkan kantong es krim beserta selembar kertas. Forgive me.

Gue lalu kembali ke rumah sakit untuk mengantarkan keripik kentang pesanan Richie. Kasihan dia mesti jaga beberapa hari ini full tanpa istirahat. Gue tahu bahwa keripik kentang adalah angin surga buatnya.

“Nih,” Gue mengangsurkan kantong keripik kentang kepadanya.

“Lo nggak ada masalah sama Freya kan?” Kok dia bisa tahu,sih?

“Nggak,” ujar gue ringan, berharap bisa menyamarkan kebohongan.

“Gue harap ada atau nggak masalah diantara kalian berdua, ini samasekali nggak ada hubungannya sama cewek yang ada bersama lo di halte sore tadi.”

Gue tercekat. Nih orang punya cctv apa cenayang sih? Kok bisa tahu kalo gue sama Raizel sore tadi? Bener-bener mati kutu gue!

“Lo tau darimana?”

“Gue tadi ngeliat lo,”

Gue lalu menceritakan semuanya. Tentang Raizel dan pertemuan kami. Tentang pena.Tentang kedekatan kami. Tentang rasa absurd yang menggerogoti sebagian hati gue.

“Jadi, cewek itu ngerasa pernah ketemu sama lo tiga tahun lalu?”

Gue mengangguk. “Gue heran, padahal lo tau sendiri kalo gue nggak pernah ketinggalan pena, jarum atau sebagainya. Barang gue selalu lengkap dan gue nggak pernah pinjam punya orang lain. Apa lo pernah ngerasa pinjam pena ke seseorang?”

Dia tampak menerawang. “Pernah, tapi gue lupa persisnya kapan,”

“Apa menurut lo dia salah mengenali kita?”

Dia mengedikkan bahu. “Lo pernah cerita kalo lo punya saudara kembar?”

“Nggak. Menurut gue itu nggak penting. Lagipula gue tahu kalo lo nggak suka sama anak kecil,”

“Siapa bilang? Oh gue tahu! Lo takut dia suka sama gue?”

“Nggak ada cewek yang suka sama cowok dingin dan kaku kayak lo, jadi gue nggak ada alasan buat takut tersaingi sama lo,”

“Kita liat aja nanti,”

-Richie POV-

Aku akhirnya mengerti masalah yang terjadi diantara Reggie dan Freya. Reggie terlalu gengsi untuk mengatakan yang sebenarnya. Atau mungkin, hal yang lebih parah adalah bahwa dia mencintai dua wanita itu sekaligus.

Aku sendiri merasakan adanya koneksi antara aku dan Raizel. Tapi aku juga masih ragu apakah Raizel adalah gadis itu? Kecelakaan di suatu tempat, di waktu yang sama, mungkin saja dialami oleh lebih dari satu orang. Lagipula aku tidak tahu asal usul gadis itu dan tidak tahu pasti apakah dia masih ada di daerah ini atau sudah merantau ke daerah atau bahkan belahan dunia lain. Aku penasaran seperti apa rupa Raizel hingga membuat Reggie jatuh cinta.

Sudahlah, daripada sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang malah membuat kepalaku bertambah nyeri, lebih baik aku menghabiskan keripik kentang yang telah Reggie berikan padaku.

Barusaja aku mencomot keripik kentang, konsulen bedah memanggilku.

“Besok, tolong kamu persiapkan kuliah di kampus.” Aku mengangguk. Apa ini murni kebetulan? Aku tidak tahu persis. Lalu, kenapa aku malah berteriak kegirangan dalam hati saat aku tahu besok aku mungkin bertemu Raizel? Mungkin otakku sudah tidak waras karena dipaksa bekerja seharian penuh. Ya, pasti itu.

Berhubung aku tak membawa baju snelli bersih lebih, aku segera mengirim bbm ke Reggie untuk membawakan bajuku.

Gie, tlg bawain snelli gw yg ad di dlm lmari. Mksh.

Sent.

Sekarang yang perlu kulakukan hanya membiarkan tubuhku beristirahat selagi belum ada pasien gawat di IGD. Residen jaga di IGD hari ini adalah aku, Helena, Ulil dan Vino. Mereka bisa diandalkan untuk sementara waktu.

***

07.30 WIB

“Chie, Lo nggak ke kampus?”

Aku membuka mataku tipis dan mendapati bayangan Reggie disana. Apa aku sudah ada di rumah? Aku lalu mengusap kedua mataku. Aku masih berada di bangku koridor rumah sakit. Gosh! Aku telat!

“Lo kenapa gak ngebagunin gue sih,”

“Gue baru sampe,”

“Gue mesti ke kampus sekarang,” Aku lalu bergegas menuju kamar mandi. “Lo nggak perlu ini?” Teriak Reggie. Aku membalikkan badan dan segera menangkap snelli yang Reggie lempar ke arahku.

Thanks,” Dia mengangguk singkat. Aku harap air dingin mampu mengusir kantuk yang masih menderaku.

***

Koridor kampus ini masih sama. Bahkan dengan mudah aku bisa mengenali goresan tanganku di dinding laboratorium mikrobiologi. Semuanya tidak berubah. Begitu tiba di depan pintu, aku segera disambut tatapan ingin tahu dari ratusan mahasiswa disana.

Aku mengambil posisi di depan kelas, menghempaskan bokong ke kursi depan komputer dan segera membuka file bahan kuliah untuk hari ini. Setelah semua siap, aku laluu mengabsen satu persatu mahasiswa.

“Albert Alviano…” Seorang mahasiswa berkulit hitam menunjuk tangan.

“Devita Angelia…”

“Diego Marcellino..”

“Hesti Fitria…”

“Keano Bramadista..”

Begitu seterusnya hingga tiba nama Raizel.

“Raizel Anindita,” Seorang mahasiswi penghuni barisan depan, dengan potongan rambut sebahu menunjuk tangan dengan lesu. Dia tak berusaha menatapku. Apa sebegitu bencinya ia pada Reggie hingga ia memalingkan wajahnya dariku? Apa aku perlu mengakui kalau aku dan Reggie adalah orang yang berbeda? Buru-buru kutepis pikiran itu jauh-jauh.Untuk sementara waktu, biarlah kututup rapat rahasia itu.

2 thoughts on “UNNAMED-10

Leave a reply to azizha Cancel reply