UNNAMED

-Raizel POV-

*PROLOG*

It’s Monday! Aku hampir memekik sangking girangnya. Hari senin, deru kendaraan beroda saling memacu, beradu kelincahan di sepanjang jalan protokol, bau hujan yang mencium tanah semalam dan kampus baru! Perfect! Ya, hari ini aku merubah statusku. Mahasiswi. Koreksi, mahasiswi kedokteran. Can you believe it? Aku, sekitar 5 tahun lagi mengenakan snelli, melangkah tergesa-gesa sembari menginstruksikan tindakan pada ners dan melihat senyum bahagia pasien saat pengobatannya berhasil.

By the way, hari ini hari pertama aku kuliah di kampus baru. Kampusku hanya berjarak tiga setengah kilometer dari rumah dan itu berarti aku hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk tiba disana. Mahasiswa baru tidak boleh membawa kendaraan sendiri dan itu membuatku merelakan Pak Min hanya mengantarkanku sampai di depan jalan. Selepas Honda City itu melaju menjauh, aku membiarkan kakiku bekerja sejauh empat ratus meter. Cukup melelahkan memang, tapi tak mengapa. Semangat hari baru membuatku tak memikirkan apa yang akan terjadi pada otot betisku.

Baru dua ratus meter, aku melihat kerumunan abnormal di sisi kiri jalan. Aku bergerak mendekat, penasaran dengan apa yang terjadi.

“Nafasnya megap-megap, ” ujar salah seorang dari kerumunan itu.

“Sepertinya tulang rusuknya patah,” sambung seorang lainnya. Semua orang disana hanya mengomentari tanpa benar-benar membantu. Jalan itupun memadat, macet karena beberapa orang sengaja berhenti untuk sekedar  melihat , mengomentari, atau justru mengambil foto.

Nuraniku pun terketuk untuk menyelamatkan keadaan. Aku lalu menginstruksikan beberapa orang laki-laki paruh baya mengangkat bapak itu ke pinggir jalan, agar macet di jalan itu tidak bertambah parah.

Kuperhatikan korban kecelakaan itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku melihat ada patahan tulang di dada kirinya, dadanya tidak mengembang bersamaan, dan nafasnya megap-megap. Tiba-tiba tanganku gemetar, tak tahu harus berbuat apa. Aku berusaha fokus, mencari tahu apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan. Nihil.

Tepat saat itulah dia datang. Menyeruak dari balik kerumunan dan segera melakukan pertolongan pertama. Jemarinya yang panjang dengan terampil meraba denyut nadi di pergelangan tangan. Ia lalu mengeluarkan stetoskop dan meletakkannya di kedua sisi dada. Ia tampak berpikir sejenak lalu kemudian merogoh tasnya, mencari sesuatu namun dari sorot matanya aku tahu dia tak menemukan apa yang ia cari. Lantas ia menatapku.

“Kamu punya jarum ?”

Aku menggeleng lemah. “Apapun yang tajam, asal cukup bersih,” lanjutnya.

Aku lalu mengeluarkan pena tinta yang baru kubeli tiga hari yang lalu. Dia segera menancapkan ujung pena itu ke dada kiri korban. Kemudian, ia menyuruh seorang warga agar memanggil ambulans.

Ia tersenyum lega. Itu adalah senyum pertama yang kulihat darinya. Aku balas tersenyum. Aku mengamati jas putih yang kini sedikit kotor terkena tanah dan mendapati nametag-nya.

dr.Reggie

Kusimpan rapat-rapat nama itu dalam hati.

Tiga tahun kemudian…..

-Raizel POV-

Aku tidak benar-benar mengenal diriku. Maksudku, lihatlah aku sekarang, duduk manis dengan kedua mata awas, menunggu sesosok pria jangkung yang langkahnya persis dengan debaran jantungku. Padahal kemarin aku baru saja memutuskan untuk berhenti menguntitnya. Aku pasti sudah gila.

“1…2…3…” Tepat saat aku menjentikkan jemari, pria itu masuk ke kafe dan langsung memilih duduk di samping kiri , dekat jendela besar, tempat favoritnya.

“Lo benar-benar udah gila,” ujar Tria mencibirku. Aku mengedikkan bahu, lalu mengalihkan kembali mataku ke pria itu.

dr. Reggie.

Begitulah tulisan yang tercantum di nametag-nya. Untuk ukuran seorang dokter, penampilannya jauh dari kata nerd. Ia cukup tahu bagaimana cara menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya. Garis rahangnya tegas, sorot mata yang tajam dengan iris berpigmen kecoklatan berpadu sempurna dengan tubuhnya yang atletis dan senyum yang memesona. Satu lagi, kacamata ber-frame hitam yang membuat wajahnya terkesan smart tapi tak menutupi maskulinitasnya.

“Awas mata lo bisa meleleh kalau lo cuma ngeliatin doi aja,” lagi-lagi Tria mencibirku.

Then, what should i do?”

Try to get his attention! For god sake, untuk ukuran mahasiswi kedokteran peraih IPK tertinggi, gue rasa lo benar-benar payah!” ocehnya gemas.

By the way, today is perfect day,” Tria lalu menunjuk kearah pria itu dengan dagunya.

See, he hasn’t bodyguard today. Do it now or never!”

Aku mendengus kesal. Jika Tria sudah mengomel begini, yang kulakukan hanya menuruti perintahnya agar teriakannya tak membuat waiters di kafe ini mengusir kami keluar. Tapi Tria memang benar, wanita itu – dengan istilah bodyguard menurut Tria – tidak bersamanya hari ini. Apakah mereka sedang ada masalah? Jika iya, artinya Tria lagi-lagi benar, dan itu berarti ini waktu yang tepat untuk memulainya.

Aku lalu memberanikan diri menuju mejanya. Ia tampaknya tak menyadari keberadaanku karena saat aku ada di balik punggungnya pun , ia tak sedikitpun menoleh, masih setia menekuni Obstetri Williams.

May i?” Ujarku sembari menunjuk kursi yang ada disampingnya. Ia lalu mengangkat kepalanya dan membawa tatapannya persis di kedua mataku.

Oh, dear. Aku rasa otot kakiku sudah berubah menjadi agar-agar.

 

-Reggie POV-

Hari ini hujan dan gue tahu ini waktu yang tepat untuk secangkir cokelat hangat. Gue lalu memutuskan untuk menghabiskan jam makan siang di kafe seberang rumah sakit. Dari pagi tadi, gue sudah menerima setidaknya dua orang ibu yang ingin melahirkan. Otot-otot di seluruh badan gue  meronta, memaksa gue untuk istirahat. Secangkir cokelat hangat gue rasa pantas untuk membayar kepenatan hari ini.

Tepat saat gue keluar dari OK, gue berpapasan dengan Freya. Ia benar-benar terlihat lelah dengan muka yang sedikit memucat.

“Lo nggak apa-apa, Fre?” ujar gue memastikan.

Ia tersenyum sekaligus mengangguk sekali untuk menjawab pertanyaan gue.

“Lo mau kemana?”

“Mencari sedikit kehangatan,” celetuk gue asal.

Ia lagi-lagi tersenyum. Ah, senyumnya manis sekali.

“Lo mau ikut?”

“Gue mesti ngecek keadaan pasien di bangsal dulu,” Raut mukanya berubah saat ia mengecek jam mungil di pergelangan tangan kirinya.

Oh dear, mungkin gue harus berlari di sepanjang koridor supaya gue nggak keduluan rubah galak itu..”

“Gue duluan ya…”

Ia lalu beranjak pergi, meninggalkan gue yang terpaku karena masih terbius sisa-sisa senyumnya. Mungkin sedikit cokelat hangat mampu membuatnya senang. Gue lalu melangkah mantap menuju parkiran.

Kafe ini tak jauh dari rumah sakit. Gue hanya perlu waktu sepuluh menit untuk tiba disini. Tepat saat gue membuka pintu kafe, aroma kopi arabika berebut masuk ke hidung, membuat gue tergoda untuk memesan secangkir saja.

Gue lalu menjejalkan bokong gue di kursi di samping kiri kafe , dekat jendela besar, tempat favorit gue dan Freya menghabiskan waktu disini.

Sepuluh menit berlalu dan pesanan gue akhirnya datang. Gue mengangguk sekilas lalu kembali menekuni lembaran Obstetri Williams. Tepat setelah lembar ketiga, suara serak itu menggetarkan gendang telinga gue.

May i?”

Sedikit terkejut, gue mendapati sosok gadis berkacamata dengan potongan rambut sebahu , tersenyum ke arah gue, meminta izin untuk duduk di meja yang sama. Gue spontan tersenyum –bukan karena gue kecentilan- lalu menyilahkannya duduk.

Namun dia tetap bergeming dengan ekspresi terkejut yang serupa dengan gue tadi. Gue lalu menjentikkan jemari di wajahnya, berharap dia sedang tidak kemasukan roh halus.

Ia lalu “sadar” dan rona-rona merah di kedua pipinya mengindikasikan kalau dia sedang berada dalam fase gue-ketauan-terpesona-oleh-si-doi. Gue segera memperbaiki suasana disana dengan kembali mengucapkan “With pleasure,”

Matanya lagi-lagi membulat. Apa perkataan gue salah?

 

-Raizel POV-

With pleasure,” tepat seperti itulah kata yang tersaring, masuk kedalam otakku. Namun aku masih tak percaya dengan apa yang kudengar. Aku masih terpaku di tempatku berdiri, saat dia menjentikkan jemarinya. Bodoh. Aku pasti terlihat sangat bodoh di hadapannya. Kau benar-benar payah Raizel, aku membatin.

With pleasure,” ulangnya. Aku lalu menghempaskan bokongku di sebelahnya dan mendapati secangkir cokelat hangat menemaninya. Ah, dia tak memesan secangkir kopi seperti biasa.

“Kenapa tak memesan kopi seperti biasa?” Pertanyaan itu menyerbu ujung lidahku. Ia terkejut mendengar perkataanku.

“Seperti biasa? Maksudnya?” Bodoh. Dia pasti segera tahu kalau aku sudah lama menguntitnya.

“Maksud saya tidak seperti yang biasa pengunjung pria pesan disini,” ujarku terbata. Semoga dia tidak curiga dengan apa yang kukatakan barusan.

Ia ber-ooh ria. “ Tidak untuk hari ini,”

“Dokter harus mencobanya,” ujarku seraya menyeruput kopi hitam di cangkirku.

Dia mengangguk. “Bagaimana denganmu?” Ia lalu melirik cangkirku dan tersenyum geli.“Sepertinya tidak hanya pria yang menikmati kopi di kafe ini,”

“Seseorang membuat saya menyukainya,” Aku tersenyum penuh arti.

“Cinta pertama?” selidiknya.

“ Bagaimana dokter bisa tahu?”

“Dari kedua matamu. Eyes never lie.  Jelas sekali tergambar. Apa kamu benar-benar tidak pernah menyadarinya?”

Aku berdehem palsu. “ Saya rasa dokter lebih cocok jadi psikiater dibanding dokter kandungan,”

Dia tertawa. “ Bagaimana kamu bisa menyimpulkan? Dan, tunggu sebentar,  bagaimana kamu tahu saya dokter kandungan, hmm maksud saya residen di spesialis kebidanan?” Dia mengoreksi.

“Dari kata-kata dokter yang cukup logis,”

Aku melanjutkan “ Dan untuk pertanyaan kedua..” Aku lalu menunjuk Obstetri Williams di seberang cangkirnya. “Saya juga punya satu,”

Dia menoleh ke arah buku itu. “ Kamu residen juga? Kok saya tidak pernah lihat?”

Aku menggeleng “ Saya mahasiswi kedokteran,”

“Oh, ternyata adik tingkat.  Berarti kamu sudah masuk semester..hmm enam?” ujarnya memastikan.

“Yap,”

“Dan namamu?”

“Raizel. Nama saya Raizel,”

 

-Reggie POV-

“Raizel. Nama saya Raizel,”

“Gue Reggie,” Gue lalu balas menjabat tangannya yang sepersekian detik menggantung di udara. Ia menggenggam tangan gue lembut.

“Lo nggak usah panggil gue pake titel. Cukup Reggie, atau kalo lo ngerasa kurang nyaman, lo bisa panggil gue kakak,” Gue menambahkan. Ia mengangguk paham.

“Raizel, sepertinya gue pernah dengar…” Gue mencoba menerawang. Mencari nama itu di sel-sel otak gue.

“Bunga mawar.”

Ah, iya. “Bahasa Ibrani?”

Ia mengangguk.

“Lo orang yang pertama tau tentang itu,”

Entah angin apa yang membuat gue senang mendengarnya. “ Gue pernah baca di mbah google,”

“Dan Reggie… bahasa Jerman?” Keningnya berkerut samar, seperti memikirkan sesuatu. “Ya, gue baru ingat, artinya penasehat raja?”

Gue tersenyum. Ia balik tersenyum sumringah, seperti peserta SuperDeal yang baru mendapat mobil dari tirai yang dipilihnya. Lucu sekali.

“Lo tau? Lo juga orang yang pertama tau tentang nama gue,”

Ia tersipu malu dan gue yakin gue nggak salah liat.

“Lo nggak balik ke rumah sakit?” ujarnya mengalihkan pembicaraan. Gue melirik ke arah Alexander Christie di pergelangan tangan kiri gue. Gosh!

It’s time to back,” Gue lalu meletakkan selembar seratus ribuan. Dia menatap gue bingung.

“Sekalian buat lo,” Gue melengkungkan senyum singkat. “Nice to talk with you,”

Gue melambaikan tangan sekilas sebelum benar-benar pergi dari kafe ini. Gue segera memacu Big Black , berusaha tiba di rumah sakit secepat mungkin.

“Lo dateng tepat waktu,” teriakan Freya menyambut kehadiran gue. Gue bernafas lega.

“Lo kok lama banget ke kafe? Cari part time job?”

“Entar gue ceritain,” Gue lalu mendorongnya ke OK.

 

-Raizel POV-

“Dan Reggie… bahasa Jerman?” Aku berusaha terlihat memikirkan arti namanya, padahal  sudah sejak lama aku tahu artinya. “Ya, gue baru ingat, artinya penasehat raja?”

Dia tersenyum. “Lo tau? Lo juga orang yang pertama tau tentang nama gue,”

Ah, mendengarnya berbicara seperti itu membuat aliran darah segera memenuhi pipiku, membuat kedua pipiku menghangat. Aku yakin seratus persen dia pasti memperhatikan perubahan drastis ini. Gosh!

Aku lalu mengalihkan pembicaraan, menanyakan kenapa dia tidak segera ke rumah sakit, padahal aku tahu sekarang ia harus sudah berada di OK.

It’s time to back,” ujarnya buru-buru, lalu melemparkan selembar seratus ribuan dan meninggalkanku di kafe ini.

Nice to talk with you,” Ia menambahkan.

Mataku masih mengekori sosoknya saat Tria tahu-tahu sudah duduk di kursi Reggie.

“Duh, yang lagi falling in love, sampe segitunya,” Guraunya, menyentakku ke dunia nyata.

“Apaan sih lo,” Kucubiti pipi gembulnya sampai dia mengaduh.

“Aww, sakit tau! Awas ya, kalo gue dapet pin BB Reggie, lo nggak bakal gue kasih,” Ancamnya.

Aku lalu memesan spaghetti carbonara dan lemon tea untuk “menyuapnya” dan itu berarti aku harus berhemat agar kantongku bulan ini tidak kempes.

“Jadwal kita besok apaan sih?”

“Kuliah pagi sama dokter Ahmad,”

“Gue harap dokter itu besok nggak ngebagiin Valerianae radix,”

“Emang dia punya toko herbal juga?”

For god sake, otak lo udah dicuci ama Reggie ya? Maksud gue, kalo dokter itu ngasih kuliah cuma bikin ngantuk,” jelasnya panjang lebar.

“Ooo…”

“Sudah yuk kita cabut aja. Gue belom ngerjain tugas gara-gara nemenin lo,” gerutunya.

Aku lalu menggamit lengannya erat. “ Oke sayang,”

“Idih.. sono panggil sayang ama Reggie aja. Gue mah ogah. Gini-gini gue masih suka sama cowok,”

Aku memberengut namun sejurus kemudian kami tertawa dan melenggang keluar kafe.

 

-Reggie POV-

“Reggie, bisa ke ruang kerja saya sebentar,”

Gue  mengangguk lalu mengekori konsulen ke ruang kerjanya.

“Saya besok mau mengajar di kampus. Kamu bisa meng-handle sebelum saya tiba ? Soalnya saya ada urusan jadi agak terlambat sedikit,”

“Bisa, Dok. Jam berapa mulai kuliah?”

“Jam 8 pagi. Kamu harus tiba sebelum pukul setengah 8,”

Gue mengangguk mantap padahal dalam hati gue udah ngedumel.

“Oke, silakan keluar,” Gue lalu permisi.

“Ada apa?”Freya menoel pundak gue.

“Kebagian jadi asdos buat kuliah besok,” Jelas gue.

“Dia nggak salah pilih,” Freya memeletkan lidah.

Sialan. “Seharusnya kan lo yang nemenin. Lo kan tau gue suka telat,”

“Karena itulah gue bilang kalo dia nggak salah pilih,” Freya beralibi.

“Lo terima aja dulu. Mana tahu setelah besok lo malah keranjingan ke kampus,” Dia mengedipkan satu matanya. Gue nggak ngerti.

“Adik tingkat kita kece-kece loh. Bisa jadi lo dapet satu,” Freya mengikik geli.

Gue lagi-lagi mengumpat dalam hati. Mana bisa gue ngelirik yang lain, Fre. Gue maunya elo.

 

-Raizel POV-

I hate Friday. Kalau ada yang bilang hari jumat itu hari surga –karena besoknya sudah terhitung weekend– menurutku hari itu adalah hari neraka. Why? Karena hari jumat akan mengawali hari-hari sepiku di rumah. Senin sampai jumat jadwalku penuh dengan rentetan kuliah. Sabtu dan minggu hanya kuisi dengan menonton drama korea terbaru, running man sambil sesekali melongok ke rak novel untuk membaca beberapa buku yang memang sudah kubeli sebelumnya.

“Lo ngapain besok?”

“Seperti biasa, meratapi keadaan,” ujarku sarkastik.

“Dih, dapet tugas nulis cerita satir dari dosen?”  Dia lalu tertawa.

“Lo kayak baru kenal gue sehari dua hari,”

“Ya, gue tahu,” Dia lalu mengambil notes biru miliknya kemudian berbicara lantang.

“Agenda dokter Raizel besok. Pertama, nonton. Kedua, nonton. Ketiga, nonton. Kee…..” Aku membekap mulutnya. Kalau dia dibiarkan terus mengoceh, dia akan membeberkan semua agendaku.

Dia memberontak. Aku yang tidak sadar akan perlawanannya itu limbung, hilang keseimbangan.

“Aww..” Gluteus maksimus-ku mendarat tak sempurna diatas lantai. Aku masih sibuk menepuk-nepuk rok yang kukenakan saat ekor mataku menangkap objek asing di hadapanku. Aku mendongak dan setelahnya hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi.

 

-Reggie POV-

Gue bangun dengan malas dan melirik ponsel sekilas, sedikit berharap ada sms dari sang konsulen untuk menggantikan gue dengan residen lain. Nihil. Gue tersenyum masam.

Denting bel memaksa gue bangun. Freya masuk dengan membawa beberapa canape bersamanya. Belum sampai ke ruang tengah, dia sudah bergidik ngeri.

“Ya, ampun! Apa perlu gue sewa pembokat untuk ngerapiin kamar lo?”

Sebelum gue sempat menjawab, dia sudah sibuk mengumpulkan baju-baju kotor, meletakkannya dalam keranjang, merapikan buku-buku di atas meja. Gue cuma bisa terperangah.

“Kenapa lo malah bengong? Ayo siap-siap!!”

Entah kenapa pemandangan seperti ini membuat gue merasa kalo Freya ada rasa ke gue. Gue tahu selama ini dia nggak pernah menceritakan seorang pria pun sama gue. Padahal gue yakin seratus persen kalo Michael udah nembak dia seminggu yang lalu. Apa dia belum membuka hatinya ?

Gue rasa ada sesuatu yang dia simpan rapat-rapat. Sesuatu yang nggak mau dia bagi ke gue. Sesuatu tentang rasa hatinya. Gue yakin itu pasti ada hubungannya dengan gue.

-Reggie POV-

Gue menuju UPK , menanyakan ruangan mana yang akan gue  masuki. Lurus, sampai di pertigaan pilih kiri. Yap. Gue tiba disini pukul 07.25 dan itu berarti gue nggak telat. Gue masuk dengan santai dengan puluhan pasang mata tertuju ke gue. Dari sudut mata, gue menangkap beberapa mahasiswi berbisik-bisik, mungkin menebak gue dosen atau bukan, karena mengingat panjangnya titel you-know-who membuat semua orang berpikir kalo titelnya itu setara dengan perubahan pigmen rambutnya. Dan itu benar.

Dua orang mahasiswi penunggu bangku depan tampaknya belum menyadari kehadiran gue. Mereka dengan cueknya bercanda padahal beberapa murid tampak menutup mulutnya rapat-rapat. Sampai salah satu dari mereka terjatuh. Gue menyipitkan mata, lalu tersentak. Gue kenal dia , gadis yang jatuh itu.

Dia sibuk membersihkan rok merah jambunya, membiarkan tangan gue menggantung di udara. Sejurus kemudian ia mendongak dan menatap gue dengan mata membulat. Gue memperpendek jarak, membuat tangan gue lebih mudah dijangkau olehnya.

Thanks,” ucapnya tulus, dengan volume yang nyaris tak terdengar.

Gue tersenyum simpul, lalu menuju meja depan untuk mempersiapkan materi kuliah. Sejak itu gue nggak berhenti menatapnya. Entah kenapa.

-Raizel POV-

Aku malu! Rasanya ingin sekali melempar muka merah ini jauh-jauh. Inilah beberapa alasan mengapa aku pantas malu:

  1. Jatuh tak indah di hadapan Reggie.
  2. Dia sekarang menatapku seperti  caraku selalu menatapnya.

Tria menyikut sikuku, melemparkan kertas tak beraturan di depan mejaku.

Lo mesti berterima kasih sama gue.

Aku mengernyitkan dahi.

Maksud lo? Terima kasih karena lo udah bikin gue tengsin setengah mampus ?

Tria mengerucutkan bibir.

Yey ni anak! Lo mesti berterima kasih karena kalo tanpa gue lo nggak bisa megang tangan Reggie untuk kedua kalinya.

Kalau dipikir-pikir benar juga. Tapi aku tidak boleh berterus terang padanya. Bisa terbang dia!

So..

Dia menulis jawabannya.

Lo harus traktir gue ke sushi tei dan gue anggap impas.

Aku melotot kearahnya.

Lo mau bolongin kantong gue! Gila!!

Dia terkikik geli.

Gue yakin tujuh turunan, lo nggak bakal cuci tangan abis ini.Gue punya firasat kalo lo bakal me-museum-kan tangan lo.

Lagi-lagi dia terkikik geli. Sialan.

Percakapan kertas itu terhenti saat semua mahasiswa terdiam. You-know-who masuk.

 

-Reggie POV-

Setengah jam lewat pukul delapan, you-know-who baru sampe. Gue mengumpat dalam hati. Gini ya kalo gue jadi konsulen nanti, bisa datang sesuka hati tanpa perlu merasa bersalah!

Gue menunjukkan senyum terbaik yang gue miliki meski hati udah pengen jerit. Untung ada Raizel yang bisa gue pelototin. Gue baru kenal dia sehari dua hari, tapi nggak tahu kenapa gue merasa seolah gue udah kenal dia lama. Mungkin karena dasarnya Raizel itu orangnya supel, jadi semua orang yang ada di sampingnya pasti ngerasa nyaman. Gue mengiyakan dalam hati. Tapi ada sesuatu dalam diri Raizel yang membuat gue yakin gue pernah ketemu jauh sebelumnya. Gue nggak ngerti.

Gue tadi nggak sengaja ngeliatin dia ama temen sebelahnya saling melempar kertas kusut. Gue nggak tahu apa yang mereka bicarakan tapi gue yakin ada nama gue disana.

Seratus menit berlalu dan you-know-who segera menyelesaikan kuliahnya. Gue yakin seribu persen kalo rerata mahasiswa sudah menguap minimal 5 kali permenit selama kuliah berlangsung. Slide-nya pun masih tersisa lima puluh lagi. Gila! Gue berjanji dalam hati kalo gue seandainya jadi dosen, gue cuma  akan buat slide gak lebih dari dua puluh lima.

Dia pun berbisik ke gue. “Reggie, tolong kamu tandatangani kartu mahasiswa ya, saya ada urusan,” Tanpa menunggu jawaban dari gue, dia segera berlalu, meninggalkan gue bersama tumpukan kartu hijau itu. Damn!

Timbul ide iseng. Gue mengambil microphone dan  memanggil “ Kamu yang pakai baju merah marun itu?”

Yang dipanggil malah bengong. Gue yakin lagi-lagi mata hitamnya akan membulat dua kali lipat. “Iya, kamu! Kemari sebentar!”

Dia lalu bergerak maju, menghampiri gue. “Ada apa?”

“Bisa bantu gue sebentar?”

-Raizel POV-

“Kamu yang pakai baju merah marun itu?” Suara beratnya terdengar lantang membuat saraf simpatisku bekerja ekstra. Tria hanya bersuit ria.

Aku menyeret langkahku, memaksa untuk bersikap datar. “Ada apa?”

“Bisa bantu gue sebentar?”

Dia menunjukkan tanda tangan you-know-who. “Lo bisa kan tiru tanda tangan ini?”

“Iya. Terus?”

“Bantuin gue. Gue bisa kejang kalo gue kerjain semua sendiri,” ujarnya mengiba.

“Es krim dan gue anggap impas?” Aku mengajaknya bersalaman.

Dia menyambut tanganku cepat. “Oke,”

Aku lalu merapatkan kursi, mengambil pena dan  mulai meniru tanda tangan dosen itu. Aku sesekali melirik ke arahnya. Dari jarak kurang dari semeter seperti ini aku bisa mencium parfumnya. Aku suka sekali aroma ini  dan  semua ini mengingatkanku kejadian tiga tahun lalu. Tiga tahun mampu membuatnya lebih macho. Dia memotong rambutnya, menumbuhkan sedikit jambang dan kumis tipis yang bertengger manis di atas bibirnya. Sekarang dia terkesan lebih seksi dan aku menyukainya.

Saat aku mencoba kembali mengintip dari balik mataku, ia menatapku lurus-lurus, membuatku terperanjat.

“Berapa menurut lo?”

“Maksudnya?”

“Penilaian lo terhadap gue,” Ia merapatkan jaraknya, membuat udara disekitarku menipis. Oh My God!

Aku menatapnya bingung. “ Gue tahu lo dari tadi ngeliatin gue,”

Oh, dear. Aku rasa darahku berhenti mengalir.

-Reggie POV-

Lo tau rasanya menangkap basah seseorang yang diam-diam memperhatikan lo? Gue belom tau dan maka dari itu gue mencobanya.

“Berapa menurut lo?” Gue menatapnya lekat. Strategi pertama.

Bola matanya berputar ke kanan-kiri. Gue pengin tertawa sekeras mungkin, tapi gue tau itu nggak sopan. Jadi gue masih tetep memasang tampang serius.

“Maksudnya?” Ia pura-pura tidak tahu.

Strategi kedua. Gue merapatkan tubuh ke arahnya, samar-samar aroma vanilla menguar dari rambutnya, masuk dengan manis ke hidung gue.

“ Gue tahu lo dari tadi ngeliatin gue,”

Dia salah tingkah. Mukanya udah kayak kepiting rebus. Gue suka ngeliat perubahan warna pada wajahnya. Gue suka tingkahnya yang malu-malu. Gue suka…

“ Gue tahu lo dari tadi ngeliatin gue,” ulang gue.

“Enam,” gumamnya. Gue seneng dia nggak bilang delapan, sembilan ataupun sepuluh. Bukan gue sombong, tapi kebanyakan cewek menilai gue sempurna. Mereka gak tahu apa yang bener-bener ada dalam diri gue. People only judge by my cover.

“Apa gue sejelek itu?”

“Gue belom tahu kepribadian lo dan menurut gue angka enam sementara cukup buat lo,”

Gue tersenyum penuh arti. “ Artinya gue bisa jadi sepuluh?”

“Tergantung elo-nya. Lo bisa buat diri lo bernilai sepuluh atau nggak bernilaipun, semua tergantung lo dan apa yang ada disini,” Dia menunjuk dadanya. Dia tersenyum. Entah sejak kapan gue suka senyum itu.

Nggak terasa kartu mahasiswa selesai kami tandatangan. Sebelum dia berbalik, gue memanggilnya.

“Raizel, lo tunggu aja gue di depan kampus,”

Dia mengangguk.

Tunggu gue.

2 thoughts on “UNNAMED

Leave a reply to mirandakazuto Cancel reply